Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Dalam sejarah Indonesia kita akrab dengan sebutan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam bahasa Jepang disebut “Dokuritsu Junbi Chosa-kai”. BPUPKI ini adalah sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah jepang di Jawa, yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945.
Organisasi ini diketuai oleh Dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat salah seorang nasionalis tua, beliau didampingi oleh Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio sebagai wakil ketua. Anggota BPUPK ini terbilang banyak, kurang lebih 60-an kepala yang ada didalamnya.
Pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 sidang resmi pertama BPUPKI dimulai. BPUPKI berfungsi untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, maka pembahasan pada Sidang Pertama itu adalah pandangan terkait bentuk negara Indonesia yang akhirnya disepakati sebagai “Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dalam membentuk NKRI, maka harus dibuat terlebih dahulu draft usulan mengenai rumusan atau Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri. Dalam Sidang ini ada tiga tokoh yang mengajukan usulannya, diantaranya Prof. Mohammad Yamin, Prof. Dr. Soepomo, dan Ir. Sukarno, ketiga tokoh ini adalah tokoh utama pergerakan nasional Indonesia.
Pancasila yang kita emban sekarang merupakan gagasan yang dikemukakan Ir. Soekarno, meskipun teks awalnya bukan seperti sekarang.
“1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan, 3. Mufakat dan Demokrasi,
4. Kesejahteraan Sosial, dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa,”. (Teks Awal Pancasila)
Menurutnya, Pancasila ini masih dapat dikompleks-kan lagi, menjadi “Trisila” ataupun “Ekasila”. Persidangan ini berjalan cukup lama, hingga diputuskan untuk dipending terlebih dahulu selama kurang lebih satu bulan. Sebelum pending dicabut kembali, dibentuk “Panitia Sembilan” yang dipimpin oleh bung karno.
Pergerakan “Panitia Sembilan” inilah yang akhirnya memutuskan saya untuk menulis tentang perkumpulan saya dengan tokoh-tokoh penggerak yang berjumlah Sembilan orang, yang kemudian disebut dengan “Sembilan Pemuda”.
Perkumpulan ini dilaksanakan disebuah rumah di Kampung Cikunir.
Pada malam hari kemarin, saya berkumpul dengan teman-teman yang kemungkinan besar memiliki keluh-kesah yang sama. Bobroknya kepemimpinan Jokowi tak beda jauh dengan bobroknya kepemimpinan di Gedung kami. Banyak ide dan gagasan yang dicurahkan pada meja persegi panjang itu. Membahas permasalahan yang sama, yaitu “Manusia dan Kesadaran”.
Saya rasa tidak ada bedanya sistem pemerintahan di Gedung kami, dengan sistem pemerintahan Negara Indonesia ini. Meskipun sekupnya berbeda. Setiap tokoh memiliki background yang berbeda, ada yang Petani, Buruh, hingga Santri.
Walaupun berbeda background tetapi tujuannya tetap sama, seperti “Bhineka Tunggal Ika” berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan. Itulah mengapa Negara kita disebut dengan “Negara Kesatuan”.
Benar apa yang dikatakan Bung Karno “Rumusan Negara Republik Indonesia, dibawakan dalam kerangka yang satu, yaitu ‘Satu Kesatuan’ yang tak bisa terpisahkan. Dalam perkumpulan kemarin, banyak saran yang bisa di aplikasikan langsung di Pemerintahan Gedung Persegi Lima kami.
Di tengah hiruk-pikuk Kampung Cikunir yang seperti Sirkuit Moto GP, sembilan pemuda berkumpul dalam sebuah ruang diskusi yang memiliki keinginan untuk membawa aroma-aroma positif untuk gedung persegi lima tadi.
Dengan tekad yang kuat, mereka sepakat bahwa mereka ingin merevitalisasi ulang bangunan yang sudah hancur berkeping-keping, meski berbagai cara yang dilakukan selalu gagal dan semua harapan selalu terucap, tapi mereka tetap kuat untuk menyamakan frekuensi untuk tujuan yang sama “Membangun Persegi Lima”.
Malam hari pun tiba, suara motor semakin kencang, otak semakin ngebul, tetapi daging-daging berserakan di meja Persegi Panjang itu. Resah dan gelisah telah dirasakan, permasalahan yang kian meningkat, menggrogoti sistem yang ada di gedung Persegi Lima. Menurunnya manusia yang peduli, kebijakan yang selalu tak sesuai harapan bersama, dan mutu intelektual yang semakin turun.
Membuat mereka geram dan muak akan semua kejadian ini. Dengan kepekaan yang mereka punya terhadap kondisi ini, membuat mereka merasa terpanggil untuk berkumpul dan membahas langkah-langkah yang konkret. Ide dan gagasan untuk merevitalisasi ulang persegi lima pun menghasilkan lima pilar penting yaitu : Pendidikan, Kesejahteraan, Kualitas, Kekompakan, dan Kepercayaan.
Ditemani dengan seikat bako dan secangkir kopi, membuat pembahasan pada malam itu semakin membuahkan daging-daging yang harus dinikmati, sesuai dengan kadar perut mereka masing-masing. Perdebatan bako dan kopi menghasilkan beberapa perspektif, haram, makruh, mubah, membuat runyam hasil akhir yang tidak ada habisnya.
Karena itu saya selaku orang yang ada di forum itu, memutuskan bahwa “segala sesuatu yang membuahkan hasil dan bermanfaat, maka hukumi halal, sedangkan sesuatu yang menghasilakan ke-mudharatan, maka hukumi haram,”. Itulah perspektif ku tentang Bako dan Kopi. Jadi gak usah diperdebatkan lagi ya teman-teman.
[…] Sembilan Pemuda Membangun Persegi Lima […]
[…] Sembilan Pemuda Membangun Persegi Lima […]