Bias Kata#2: Seikat Kisah Tentang Malam Penuh Makna

Bias Kata#2: Seikat Kisah Tentang Malam Penuh Makna

“Bersama Sang Larantuka dan Muhammad di Malam yang Penuh Makna”…..

Di sudut kafe yang dipenuhi aroma biji kopi yang menyengat hingga dalam, seorang lelaki melangkah mendekati Pramusaji Perempuan. Ia memesan kopi V-60, kesukaannya. Sambil menunggu dilingkaran para sastrawan, ia melanjutkan cakap-cakapnya dengan Mas Berto Tukan, seorang sastrawan Timur yang memancarkan aura khasnya. Tak perlu menunggu lama, Pramusaji itu datang membawa secangkir kopi yang mengepul asap di atas-atasnya, sembari menampakkan senyuman tipis dan mengedipkan bulu matanya yang lentik.

“ini kak, kopinya!” ucapnya, aura penuh keramahan yang menyiratkan kesederhanaan. Tampak cantik bila dipandang dari dekat, tak dapat dibayangkan jika terus menerus bertemu dengannya. Obrolan-Nya dengan Sang Larantuka itu terus mengalir seperti aliran air yang ada di selokan, sampingnya. Sampai akhirnya sebuah perkenalan baru pun terjalin. Larantuka itu mengenalkan dirinya dengan sahabat karibnya yang juga merupakan sastrawan, lelaki itu bernama Hamzah Muhammad. “Dia ini sastrawan sama seperti ku.” ucapnya.

Muhammad menyambutnya dengan tatapan heran penuh makna dan tanya.

“Muhammad, ini ada mahasiswa dari Bekasi,” ujar Mas Berto.
“Waduh, serius?” tanya Muhammad, ekspresi wajah heran, seperti baru mendapati hal yang langka.
“Iya, Mas. Saya Mahasiswa Bekasi,” jawab lelaki itu dengan senyum tipis dan sedikit gerogi.
“Wih, keren! Terima kasih, ya, sudah datang jauh-jauh,” balas Muhammad dengan nada haru yang entah berasal dari mana, mungkin dari kehangatan pertemuan pada malam itu.

Supaya lengkap, boleh membaca postingan saya sebelumnya yang masih berkaitan dengan ini, judulnya : Bias Kata#1

“Seikat Kisah Tentang Malam Penuh Makna”

Percakapan terus berlanjut hingga menembus malam yang semakin kelam. Di antara gelas-gelas kopi yang sudah dingin dan sedikit demi sedikit habis, lelaki itu memberanikan diri untuk meminta koreksi secarik puisi yang sudah ia buat.

Puisi pertamanya, berjudul “Paradoks Kebebasan dan Kenyataan” | Sumber: Dokumen Pribadi
Puisi ini pertama kali dipublikasikan di rubrik Puisi kompasiana.com

“Mas, saya minta tolong koreksi puisi yang udah saya buat, dong.”
“Siap, Bung. Mana puisinya? Sini, gue baca,” jawab Larantuka sambil menaikan kacamata dan mengerutkan alis, matanya fokus memandang secarik kertas kusam dihadapannya.

Kemudian, lelaki itu menyerahkan puisinya di dalam tas yang ia simpan dengan hati-hati. Mas Berto pun menurunkan kacamata nya ke dahi, lalu membacanya dengan Perempuan yang ada disampingnya. Ia tampak begitu serius, seolah mencari tahu makna yang tersembunyi di dalam bait-bait puisi itu. Beberapa saat kemudian, ia mengangkat pandangannya. Lantas berkata,

“Bagus, ini sudah bagus. Tapi masih kurang pakem. Kalo Bung ingin terus menulis, sering-seringlah membaca, lalu temukan pakem Bung sendiri (Ciri khas).”

Ucapan itu langsung menyelinap masuk ke dalam hati lelaki itu, menggema di ruang pikirannya. Ada kehangatan yang lahir dari saran itu, seakan ia baru saja menerima kunci untuk membuka Cakrawala Dunia Baru.

“Siap, Mas. Terima kasih atas koreksiannya. Saya akan terus berusaha menemukan pakem saya sendiri,” jawabnya penuh gembira.

Karena baru pertama kali, puisinya dikoreksi langsung oleh Sastrawan Nasional, terlebih lagi puisi itu adalah puisi pertama yang ia buat. Karena sebuah keterdesakan hidup dan keterpaksaan untuk menjalaninya, akhirnya ia membuat secarik puisi yang berjudul “Paradoks Kebebasan dan Kehangatan”.

“Gerakan Pena dan Malam Penuh Makna”

Waktu malam terus berlalu, angin semakin dingin, dan malam semakin tua. Waktu sudah menunjukan pukul 21:30 WIB. Larantuka itu pun berpamitan. Ia harus mengejar kereta, jika semakin larut, maka kereta akan pergi meninggalkannya. Sebelum pergi, lelaki itu menyempatkan waktu untuk mengambil sesi foto bersama Larantuka itu, dan malam menjadi indah seketika itu. Jepretan kamera mengabadikan momentum yang mungkin jarang terulang kembali.

Saya Bersama Mas Berto Tukan dan Mas Hamzah Muhammad, di Kedai Kinetik | Sumber : Dokumen Pribadi

“Bung, Saya pamit dulu, ya. Nanti, lain waktu kita jadwalkan untuk berdiskusi kembali.” ujar Larantuka sebelum melangkah pergi.

Kemudian, lelaki itu melanjutkan ngobrol malamnya bersama Muhammad. Obrolan mereka kala itu, penuh dengan semangat dan inspirasi. Sedikit pembicaraan yang dapat diabadikan momennya.

“Bung, sudah mencoba untuk menulis?” tanya Muhammad dengan mata menyiratkan keseriusan.
“Alhamdulillah, saya sedang mencoba menulis sebuah karya, Mas.”
“Bagus, Bung. Tulis apapun yang terlintas. Mulailah dari suatu yang kecil hingga besar.” ujar Muhammad sambil menepuk pundaknya dengan penuh semangat.

Hal ini, mengingatkannya pada Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhamamad, yaitu: “Iqra” artinya “Bacalah!!!”, Betapa agungnya perintah “Membaca” itu, sehingga diabadikan dan dijadikan sebagai wahyu pertama kali. Dalam surat yang sama, Allah pun berfirman tentang “Pena”. Membaca dan Menulis adalah dua sayap yang saling berhubungan dan akan membawanya terbang lebih tinggi, jauh ke angkasa sastra dan dunia ke-Ilmuan.

“Gerakan penamu, tuangkan gagasan ke dalam secarik kertas, dan mulailah menulis. Jangan hiraukan omongan orang lain”

Hamzah Muhammad
Alief hafiz
Alief hafiz

"Scribo Sic Existo"

Articles: 18

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *