Etika Berpolitik Dalam Perspektif Agama

Bagaimana Etika Berpolitik Dalam Perspektif Agama?

Pendahuluan

Politik adalah fenomena yang berhubungan erat dengan manusia dan senantiasa berada berada dalam ruang lingkup masyarakat atau sebuah kelompok. Manusia pasti tidak lepas dari “politik” dimana pun ia berada, lingkup keluarga pun itu namanya politik. Sehingga salah satu filsuf Yunani Aristoteles menyebut manusia sebagai “zoon politikon” atau “hewan yang bermasyarakat”. Menurutnya, manusia secara kodrati adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan sesama.

Perkembangan politik dari zaman Yunani Kuno hingga sekarang sangat berkembang pesat, sehingga sampai sekarang kita masih merasakan “politik”. Dalam waktu dekat, kita akan merasakan momentum PILKADA. Pilkada merupakan salah satu momentum penting dalam sistem ke-negaraan, dimana masyarakat bebas memilih pemimpin yang mampu menjalankan amanahnya dalam pemerintahan. Namun, ditengah hiruk-pikuk Pilkada ini, sering kali muncul fenomena yang kurang mencerminkan nilai-nilai moral, seperti politic money, kampanye hitam, ujaran kebencian, kasus lama yang diungkit kembali.

Hal ini menyebabkan timbulnya kecemasan terhadap degradasi nilai-nilai luhur dalam proses politik. Dalam konteks Indonesia pada hari ini, agama sangat memiliki peran penting dalam membentuk norma dan perilaku masyarakat. Oleh karenanya, kenapa banyak calon-calon yang mendekat kepada para tokoh agama, baik dari ustadz hingga kyai-kyai besar di Indonesia. Sebagian besar masyarakat menjadikan ajaran agama sebagai pedoman dalam menentukan sikap maupun dalam hal memilih “Calon Pemimpin”.

Namun, pemahaman dan penerapan nilai-nilai keagamaan dalam berpolitik masih terbilang minim dan miris, bahkan sering kali terdistorsi oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Sehingga, Romo Setyo Wibowo mengatakan “Praktik pemilu kemarin dan momentum pilkada yang sebentar lagi terjadi sering kali dikenal dengan sistem Klientelisme Politis, yang berarti ‘sesuatu untuk sesuatu yang lain”. Atau dalam bahasa Plato disebut “Politic Epithumia”, politik perut atau kepentingan pribadi.

Indonesia membutuhkan pendekatan yang dapat menyelaraskan nilai-nilai agama dalam praktik politik kali ini. Akhirnya saya memutuskan untuk menulis “Etika Berpolitik Dalam Perspektif Agama” agar menjadi pedoman penting selama Pilkada berlangsung.

Bagaimana Etika Berpolitik Menurut Agama?

Agama Islam khususnya, sudah mengatur prinsip-prinsip dasar dasar berpolitik yang seharusnya menjadi landasan utama dalam menjalankan roda pemerintahan yaitu, keadilan, kejujuran, amanah, dan persaudaraan. Namun, pada prakteknya tidak seperti yang kita harapkan bersama. Banyak pemimpin yang mengampar program-program ketika terpilih nanti, namun, apakah semua program dan janji yang mereka paparkan akan dilaksanakan sesuai dasan diatas? Kita lihat ketika para calon terpilih nanti. Problematik politik cenderung sering ke arah negatif, sebab banyaknya penyelewengan di dalamnya. Kasus korupsi dimana-mana yang tak kunjung usai, seolah itu adalah sebuah “kebiasaan” yang sering ditoleransi. Munculnya ketidakadilan antara yang Kaya dan Miskin, beberapa tahun lalu beredar kasus seorang nenek yang mencuri batang kayu dihukum selama 5 tahun penjara, namun para politisi yang memakan duit rakyat “Korupsi” dihukum ringan, tak seberat nenek-nenek tadi. Praktek ini sudah menghilangkan nilai-nilai keadilan.

Ajaran Agama pada umumnya menawarkan prinsip-prinsip bersifat universal, dan masih relevan jika dipraktikkan dalam suasana Pilkada pada kesempatan ini;

Etika Berpolitik: “Keadilan (Al-Adl)


Etika berpolitik yang paling dasar adalah “Adil”, sebagaimana yang tercantum dalam Pancasila yang ke-lima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Menegakkan keadilan, tanpa adanya diskriminasi antar manusia. Para pemimpin yang akan menjalankan roda pemerintahan nanti harus mampu memprioritaskan keadilan dalam menentukan kebijakan-kebijakannya. Romo Magnis Suseno pun pernah ngomong “Keadilan merupakan sebuah kondisi dimana seseorang diperlakukan setara tanpa membeda-bedakan satu dengan lainnya” dalam bukunya “Etika Politik”.
Sehingga Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an surat Shad ayat 28, berbunyi:

يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢ بِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِࣖ

Artinya: ““Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.”

Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa dalam menentukan seorang pemimpin harus bersikap “Adil” dalam menentukan perkara ataupun keputusan apapun, dan jangan pernah memutuskan segala kebijakan seenak jidat si pemipin nanti. Apakah sudah terlihat calon pemimpin seperti ini? Waktu akan menjawabnya nanti. Dalam konteks “Adil”, para penegak hukum atau pemimpin harus bersikap adil dalam menjalankan tugasnya dan harus bertindak tegas kepada siapapun yang terbukti salah, jangan membela yang kaya dan menumpas yang miskin. Itulah fakta lapangan yang terjadi sekarang.

Etika Berpolitik: “Kejujuran (As-shidiq)

Calon pemimpin sering kampanye dan menebar janji politik kepada rakyat, maka mereka harus komitmen terhadap apa yang mereka ucapkan. Harus dipertanggungjawabkan, bukan sekedar alat untuk menyenangkan hati rakyat saja. Allah dalam firmannya surat Al-Ahzab ayat 70 juga menjelaskan tentang “jujur”, berikut bunyinya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah. Dan ucapkanlah perkataan yang benar”.

Ayat ini juga dapat dijadikan dalil, bahwa orang yang beriman dan bertaqwa harus bersikap “Jujur” termasuk untuk Pemimpin. Sifat Jujur merupakan salah satu etika penting dalam berpolitik. Berapa banyak para petinggi-petinggi negara tidak jujur terhadap kerjanya kepada masyarakat. Oleh karenanya, “jujur” sangat penting didalam membangun budaya politik yang bagus dengan didasari oleh nilai-nilai integritas dan etika.

Etika Berpolitik: “Amanah”

Calon pemimpin terpilih sebab suara rakyat. Ada bahasa Latin yang berbunyi Vox Populi, vox dei atau “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan”, karena itu, pemimpin harus bersifat “Amanah”. Amanah merupakan simbol utama yang harus ditunaikan, karena dalam Amanah terdapat sifat Kejujuran, dan keadilan. Allah memerintahkan kepada umat Manusia untuk bersifat “Amanah”, sebagaimana dalam Al-Qur’an An-Nisa ayat 58, sebagai berikut:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ

Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, maka tetapkanlah dengan ‘Adil”.

Dalam konteks politik, kata “Menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” adalah rakyat yang sudah menentukan pilihannya kepada salah satu paslon. Oleh karenanya, siapapun pemimpinnya nanti, harus menyampaikan “Amanah” nya kepada rakyat yang sudah rela memilihnya. Pada ayat tersebut, kata “Amanah” disandingkan dengan “Adil”, yang berarti, jika pemimpin mampu menjaga amanahnya dengan baik maka akan lahir keadilan yang menyeluruh. Sehingga, akan lahir masyarakat yang tunduk dan patuh terhadap kebijakan pemerintah.

Hubungan Etika dengan Politik

Hubungan etika dan politik dalam momentum kali ini, nampaknya jarang dibicarakan. Politik cenderung tidak dibentuk dengan sistem yang ideal, sehingga tidak menutup kemungkinan para calon untuk menghalalkan segala cara untuk dapat duduk disinggahsana kerajaan. Al-Farabi mengatakan “politik berperan sebagai etika dan swakarsa yang terkait erat dengan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat”. Nietzsche menambahkan, kalo etika politik dibangun dan ditetapkan oleh penilaian baik dan buruk, sehingga berdampak kepada perubahan yang lebih baik. Namun, fakta lapangan membuktikan, praktek ini sangat jauh, contoh kecil saja Money Politik yang sering terjadi belakangan ini, atau pada pemilu kemaren rame dengan istilah “Serangan Fajar”. Penguatan etika politik harus lebuh diperhatikan dalam momentum Pilkada pada hari ini.

Baca artikel saya yang masih hangat tentang : Pengantar Ideologi

Alief hafiz
Alief hafiz

"Scribo Sic Existo"

Articles: 18

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *